“Icon Kota Jogja
yang Paling Dikenal”
Tugu Jogja merupakan icon Kota Yogyakarta yang
paling dikenal. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran
Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro.
Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus
menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta.
Tugu Jogja kira-kira didirikan setahun setelah
Kraton Yogyakarta berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas
menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa
untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu
tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan
puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig.
Secara rinci, bangunan Tugu Jogja saat awal
dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas. Bagian dasarnya
berupa pagar yang melingkar sementara bagian puncaknya berbentuk bulat.
Ketinggian bangunan tugu pada awalnya mencapai 25 meter.
Semuanya berubah pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa
yang mengguncang Yogyakarta saat itu membuat bangunan tugu runtuh. Bisa
dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna
persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.
Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat
pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu. Tugu dibuat dengan bentuk persegi
dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang
terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi
berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah,
hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak
saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik
Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun, melihat
perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, bisa
diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil.
Bila anda ingin memandang Tugu Jogja sepuasnya
sambil mengenang makna filosofisnya, tersedia bangku yang menghadap ke tugu di
pojok Jl. Pangeran Mangkubumi. Pukul 05.00 - 06.00 pagi hari merupakan saat
yang tepat, saat udara masih segar dan belum banyak kendaraan bermotor yang
lalu lalang. Sesekali mungkin anda akan disapa dengan senyum ramah loper koran
yang hendak menuju kantor sirkulasi harian Kedaulatan Rakyat.
Sore hingga tengah malam, ada penjual gudeg
(masakan khas Yogyakarta) di pojok Jl. Diponegoro. Gudeg di sini terkenal enak
dan harganya wajar. Anda bisa makan secara lesehan sambil menikmati pemandangan
ke arah Tugu Jogja yang sedang bermandikan cahaya.
Begitu identiknya Tugu Jogja dengan Kota
Yogyakarta, membuat banyak mahasiswa perantau mengungkapkan rasa senangnya
setelah dinyatakan lulus kuliah dengan memeluk atau mencium Tugu Jogja. Mungkin
hal itu juga sebagai ungkapan sayang kepada Kota Yogyakarta yang akan segera
ditinggalkannya, sekaligus ikrar bahwa suatu saat nanti ia pasti akan
mengunjungi kota tercinta ini lagi.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar