Senin, 26 November 2012

MALIOBORO



“Jantung Keindahan Jogja, Surganya Para Wisatawan”
Matahari terik saat ribuan orang ramai di sepanjang jalan Malioboro. Mereka tidak hanya berdiri di trotoar tapi mereka berlari ke jalan. Suasana itu begitu berisik dan sibuk. Menggelegak tawa, klakson mobil berteriak, alunan gamelan kaset, hingga berteriak pedagang yang menjual makanan dan mainan untuk anak-anak dicampur menjadi satu. Setelah menunggu selama berjam-jam, akhirnya, rombongan karnaval yang diharapkan muncul. Dimulai oleh Bregada Prajurit Lombok Abang, konvoi kereta kerajaan mulai berjalan perlahan-lahan. Semua meremas ingin melihat beberapa GKR bendara dan KPH Yudhanegara yang terus menerus melambaikan tangan dan Menebar senyum ramah.


Pemandangan itu dipandang sebagai partai Kirab Pawiwahan Ageng putri Sultan Hamengku Buwono X bungsu dari Keraton Yogyakarta menuju Bangsal Kepatihan. Ribuan orang berdesakan mengisi Jalan Malioboro yang membentang dari utara ke selatan. Dalam bahasa Sansekerta, Malioboro berarti karangan bunga karena pada zaman dahulu ketika Istana mengadakan acara, jalan sepanjang satu mil akan dipenuhi dengan karangan bunga. Meskipun waktu berlalu dan zaman telah berubah, Malioboro posisi sebagai jalan utama di mana berbagai karnaval dan perayaan yang diadakan tidak pernah berubah. Sampai saat ini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Zero Point tetap tempat untuk berbagai karnaval mulai dari acara Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan banyak lainnya.
Sebelum itu berubah menjadi jalan yang sibuk, Malioboro adalah jalan yang tenang dengan pohon asam tumbuh di kanan dan kiri. Jalan ini hanya dilewati oleh orang-orang yang ingin pergi ke daerah istana atau kompleks seperti pertama Indische Pertama di Yogyakarta, misalnya, Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji Kecil (daerah sebelah Aula Besar / Gedung Agung), Loji Kebon (Great Hall / Gedung Agung), serta Loji Setan (Kantor kantor DPR / DPRD). Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan dan adanya pemukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan secara bertahap meningkatkan perekonomian di wilayah tersebut. Kelompok Cina membuat Malioboro sebagai kanal bisnisnya, sehingga kawasan perdagangan yang awalnya berbasis di Beringharjo dan Pecinan akhirnya meluas ke utara ke Stasiun Tugu (Tugu Train Station). Melihat Malioboro yang berkembang pesat menjadi denyut nadi perdagangan dan pusat belanja, seorang teman mengatakan bahwa Malioboro adalah bicara bayi untuk "mari yok borong (mari kita membeli banyak)". Di malioboro Anda dapat membeli berbagai barang yang diinginkan mulai dari aksesoris yang indah, souvenir yang unik, klasik batik, emas dan permata untuk peralatan rumah tangga. Bagi penggemar souvenir, Malioboro bisa menjadi surga hunting menyenangkan. Berjalan di bahu jalan sementara tawar-menawar berbagai barang yang dijual oleh pedagang kaki lima, akan menjadi pengalaman khusus. Berbagai souvenir buatan lokal seperti batik, rotan ornamen, perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, aksesoris, hingga gantungan kunci, semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika Anda baik dalam perundingan, barang-barang tersebut bisa dibawa pulang dengan harga yang cukup murah.

Selain menjadi pusat perdagangan, jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi pernah menjadi sarang serta perfoming tahap demi memimpin seniman Malioboro oleh Umbu Landu Paranggi. Dari mereka juga, budaya duduk di trotoar dipopulerkan yang akhirnya mengakar dan identik dengan Malioboro. Menikmati makan malam romantis di warung duduk sambil mendengarkan seniman jalanan lainnya menyanyikan lagu "Yogyakarta" dari Kla Project akan menjadi pengalaman yang ditandai dalam hati. Malioboro adalah serangkaian sejarah, cerita dan kenangan yang terjalin dalam benak setiap orang yang pernah dikunjungi. Pesona jalan ini tak pernah pudar oleh waktu. Eksotisme Malioboro terus bersinar sampai sekarang dan menginspirasi banyak orang, dan memaksa mereka untuk terus datang kembali ke Yogyakarta. Sebagai awal kalimat dalam puisi Melodia diciptakan oleh Umbu "Cinta yang membuat saya merasa di rumah kadang-kadang berlangsung" Paranggi Landu, kenangan dan cinta dari banyak orang terhadap Malioboro yang membuat jalan ini terus bertahan sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar